Sukoharjo, RelasiPublikCOM – Tokoh muda dari Kota Solo yang juga pengamat sosial kebijakan publik, BRM Kusumo Putro, menilai larangan mudik lebaran tahun ini terkesan ambigu, lantaran prakteknya tidak diberlakukan merata di semua daerah, meski disebut berlaku secara nasional. Selain itu juga tumpang tindih dengan kebijakan pembukaan wisata.
“Saya meragukan larangan mudik tidak akan berjalan efektif. Karena masyarakat akan memanfaatkan waktu yang ada untuk tetap mudik ke kampung halaman karena aturan yang diberlakukan tidak merata di semua daerah,” kata Kusumo, Minggu (11/4/2021).
Terbitnya Permenhub No. PM 13 Tahun 2021 tentang larangan perjalanan mudik namun mengecualikan 36 kota dalam 8 wilayah aglomerasi dari larangan tersebut, sangat membingungkan. Kota/kabupaten yang masuk wilayah aglomerasi, salah satunya Solo Raya atau eks Karesidenan Surakarta boleh melakukan perjalanan mudik.
Masyarakat yang tinggal di wilayah ini, meliputi Solo, Sukoharjo, Boyolali, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen, diijinkan melakukan perjalanan mudik namun tidak boleh keluar dari wilayah aglomerasi, atau hanya mudik lokal antar daerah dalam satu wilayah saja.
Di luar kota/kabupaten yang berada dalam wilayah aglomerasi, larangan mudik berlaku penuh. Bagi masyarakat yang tidak memiliki surat perjalanan dan bepergian di luar wilayah tersebut, pada waktu larangan mudik Lebaran 2021 diberlakukan mulai 6 Mei hingga 17 Mei, maka akan diminta putar balik.
“Adanya pengecualian mudik seperti ini justru membingungkan masyarakat. Ini namanya mudik lokal. Jujur saja, istilah “Aglomerasi” itu terdengar asing ditelinga masyarakat awam, tidak semuanya paham. Masyarakat sudah susah jangan makin dibuat susah lagi. Kalau memang mudik dilarang karena masih ada ancaman pandemi, ya putuskan semua daerah tidak boleh ada pergerakan mudik,” ujarnya.
Pemerintah, lanjut Kusumo, mestinya tahu bahwa perjalanan mudik menyambut Hari Raya Idul Fitri sudah menjadi sebuah tradisi. Ada nilai keteladanan didalamnya. Ini bukan sekedar pulang kampung biasa. Mudik Idul Fitri merupakan penghormatan kepada leluhur. Wujud cinta kepada tanah kelahiran, kepada orang tua, dan sanak saudara.
“Mudik menjelang Idul Fitri merupakan momen sakral penuh makna. Sebuah peristiwa budaya yang lama dinantikan, dan tidak bisa tergantikan oleh waktu. Ada tiga hal dalam mudik, yakni menyambung silaturahmi untuk melepas kerinduan sambil merayakan Idhul Fitri bersama keluarga, rekreasi, dan menjaga kelestarian adat istiadat masyarakat yang sudah berjalan turun temurun,” ucapnya.
Diluar itu, mudik tegas Kusumo, sangat berdampak luar biasa bagi perputaran ekonomi daerah dari berbagai sektor, seperti pariwisata, perdagangan, transportasi, UMKM dan beberapa lainnya. Apalagi lagi masyarakat saat ini sudah terbiasa menerapkan protokol kesehatan (prokes yang terbentuk karena selama 1 tahun lebih menghadapi bahaya paparan virus.
“Jadi sangat tidak beralasan jika kekhawatiran kasus corona akan meninggi hanya karena mudik. Apalagi sebagian masyarakat sudah mendapatkan vaksinasi. Jadi, saya harap larangan mudik dicabut saja diganti dengan kewajiban membawa surat hasil swab tes negatif Covid-19 yang dikeluarkan dinas kesehatan setempat. Waspada terhadap bahaya virus boleh, tapi jangan ambigu,” sambungnya.
Disisi lain, pembukaan sektor pariwisata oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui program Kharisma Event Nusantara 2021 pada Sabtu (10/4/2021) kemarin, dinilai Kusumo juga bertolak belakang dengan Permenhub tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
“Sekarang bagaimana sektor pariwisata bisa bangkit, jika momen mudik saja dilarang. Bukankah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, jika berlebaran pasti juga mengunjungi tempat wisata. Lha, kalau mudik dilarang lantas siapa yang akan mengunjungi tempat wisata itu. Ini kan aneh. Jadi harapan Presiden dan kebijakan Menhub ini tidak nyambung,” tandasnya. (NNG)
Discussion about this post